Sekilas Mengenai Pecinan Kota Bandung



Menengok sejarah terbentuknya pecinan di berbagai kota di Indonesia memang menarik. Selain karena etnis tersebut sering mewarnai kehidupan budaya masyarakat sekitarnya, mereka juga dipandang pintar memutar roda perekonomian.

Alasan terakhir itulah yang sering dipakai kolonial Belanda ketika membentuk pecinan di berbagai kota di Jawa. Seringkali etnis Tionghoa diberi lahan khusus untuk bertempat tinggal yang berbeda dengan warga pribumi. Lahan khusus tersebut biasanya dibatasi oleh benteng-benteng. Namun, pemisahan lahan tempat tinggal tidak begitu kentara di Bandung. Di kota yang berjuluk Paris van Java ini, para etnis Tionghoa tidak dibenteng seperti di Tangerang atau Jakarta. Mereka hidup lebih cair dan membaur dengan warga pribumi.

Walau begitu, etnis Tionghoa di Bandung tetap terkonsentrasi di beberapa wilayah. Umumnya mereka berada di sisi barat Alun-alun, seperti Jl. Gardujati, Jl. Kalipah Apo, Jl. ABC, Jl. Otto Iskandardinata, kawasan Pasar Baru, dan beberapa wilayah di sekitarnya. Kebijakan tersebut sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Tak heran, jika kalau kebetulan sedang melewati wilayah-wilayah tersebut kini, satu-dua gedung tua a la China Town masih nampak megah berdiri---walau pada umumnya nampak tidak terawat dan terdesak arus modernisasi.

Kawasan pecinan di Bandung sendiri mulai berkembang tepatnya pada tahun 1810. Pada masa itu, setiap daerah pecinan dikepalai oleh seorang 'Wijkmeester'. Di atas 'Wijkmeester' sendiri terdapat jabatan Luittenant der Chineeschen atau Kepala Koloni pemukinan Cina. Menurut catatan Haryoto Kunto di 'Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe', salah satu nama Luittenant der Chineeschen yang pernah menjabat di Bandung adalah Tan Djoen Liong. Sementara yang pernah menjadi 'Wijkmeester' adalah Thung Pek Koey dan Tan Yim Coy. Keduanya bertugas mengepalai daerah Suniaraja dan Citepus pada tahun 1914. Sementara sebagian tokoh Cina yang lain juga pernah diabadikan menjadi nama gang. Salah satunya adalah gang Guan Ann dan Jap Lun yang juga terletak di daerah Citepus.

Seiring perkembangan zaman, pemisahan penduduk berdasar ras dan warna kulit tidak diberlakukan lagi sejak tahun 1930. Orang yang paling berperan atas hal itu adalah Thomas Karsten, seorang insinyur Belanda yang melakukan perancangan perluasan Kota Bandung. Dia menekankan fungsi ekonomi adalah fungsi yang paling utama dalam tata letak sebuah kota. Artinya, unsur rasial tidak lagi berperan penting, sehingga kebijakan pemisahan penduduk berdasar ras dihapuskan.

Setelah masa tersebut, warga etnis Tionghoa menyebar di seluruh penjuru kota. Sebagian bergerak ke arah Utara menuju kawasan pemukiman elit orang Eropa, yaitu kawasan Cipaganti atau kawasan Dago. Sementara sebagian lain tetap bermukim di wilayah barat Alun-alun. Kegiatan utama para etnis Tionghoa, yaitu berdagang, tetap menjadi ciri khas. Hal itu nampak dengan berbagai toko, pasar, atau pusat kegiatan ekonomi lainnya yang memang terletak di daerah tersebut. Kegiatan tersebut tetap berlangsung hingga kini.

0 comments:

Copyright © 2013hik8t
 photo iklananim_zpsaa0f27a0.gif